Rumus Non-Performing Loan (NPL): Interpretasi & Analisis

Non-Performing Loan (NPL) atau rasio NPL adalah rasio keuangan penting dalam analisis kesehatan bank yang memperlihatkan tingkat kredit bermasalah. Pengertian ini penting bagi investor, bank, dan regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) untuk menilai kinerja dan risiko keuangan bank.

Rasio ini menunjukkan jumlah kredit yang mengalami keterlambatan pembayaran dalam jangka waktu tertentu dan dapat mengindikasikan tingkat keberhasilan atau kegagalan bank dalam mengelola risiko kredit. Berikut penjelasan lebih detail tentang pengertian, rumus, fungsi, serta interpretasi NPL secara menyeluruh.

Definisi Non-Performing Loan (NPL)

NPL adalah singkatan dari Non-Performing Loan, yang artinya kredit gagal atau bermasalah di mana debitur tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran sesuai dengan syarat yang disepakati. Secara sederhana, Non-Performing Loan adalah kredit yang tidak menghasilkan bunga atau pengembalian bagi bank. NPL Bank adalah indikator kinerja utama bagi bank yang mengindikasikan sejauh mana risiko kredit macet yang dimiliki. Semakin tinggi NPL, semakin tinggi pula risiko kredit yang dapat mengurangi profitabilitas bank.

Pra NPL adalah kondisi di mana terdapat tanda-tanda awal kredit mengalami masalah, namun belum dikategorikan sebagai kredit macet. Pengenalan dan manajemen pra-NPL yang efektif dapat membantu bank memitigasi potensi kenaikan NPL di masa depan.

Kolektibilitas Kredit (Skor Kredit)

Jika berbicara tentang rasio NPL bank, itu mengarah pada performa kredit. Sebagaimana diketahui, NPL adalah rasio yang menunjukkan persentase kredit macet dari bank. Kredit macet merupakan salah satu jenis kolektibilitas kredit (skor kredit) – yaitu kondisi pembayaran angsuran nasabah (utang pokok + bunga) dan kemungkinan diterima kembali dana tersebut.

Untuk mengecek histori kredit nasabah, dapat ditunjukkan melalui sistem layanan informasi keuangan atau SLIK. Tingkatan skor kredit melalui SLIK didasarkan pada kemampuan debitur untuk membayar angsuran yang kemudian disebut kolektibilitas kredit.

Berikut lima (5) kolektibilitas kredit berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum:

  • Kolektibilitas 1: Kredit Lancar – debitur membayar angsuran (pokok dan bunga) tepat waktu. Perkembangan rekening debitur baik, tidak ada tunggakan, dan telah memenuhi persyaratan kredit.
  • Kolektibilitas 2: Kredit Dalam Perhatian Khusus – debitur menunggak pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga dalam periode 1 – 90 hari.
  • Kolektibilitas 3: Kredit Kurang Lancar – debitur menunggak pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga dalam periode 91 – 120 hari.
  • Kolektibilitas 4: Kredit Diragukan – debitur menunggak pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga dalam periode 121 – 180 hari.
  • Kolektibilitas 5: Kredit Macet – debitur menunggak pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari 180 hari.

Dapat Anda lihat bahwa Kredit Macet masuk ke dalam kolektibilitas 5  yang artinya debitur atau nasabah tidak membayar angsuran (pokok + bunga) selama lebih dari 180 hari. Dalam hal ini, kredit macet atau kredit tidak tertagih akan menjadi kerugian bagi bank karena hilangnya peluang untuk menghasilkan pendapatan bunga.

Ketentuan NPL Menurut OJK dan Peraturan Bank Indonesia

Menurut ketentuan OJK dan Bank Indonesia (Peraturan Bank Indonesia No. 17/11/PBI/2015 tanggal 25 Juni 2015), rasio NPL diukur berdasarkan dua tipe perhitungan:

  1. NPL Gross: Mengukur total kredit bermasalah (kurang lancar, diragukan, dan macet) terhadap total kredit yang disalurkan bank.
  2. NPL Net: Menghitung total kredit bermasalah setelah dikurangi dengan cadangan kerugian kredit yang dibentuk.

Batas NPL menurut OJK yang ditetapkan untuk bank adalah maksimal 5%. Bila NPL bank melebihi batas ini, Bank Indonesia akan melakukan pengawasan lebih ketat untuk mencegah risiko kebangkrutan.Berikut adalah kategori NPL yang sangat sehat hingga tidak sehat menurut standar Bank Indonesia (BI):

  • Sangat Sehat: NPL < 2%
  • Sehat: NPL 2% – 5%
  • Cukup Sehat: NPL 5% – 8%
  • Kurang Sehat: NPL 8% – 12%
  • Tidak Sehat: NPL > 12%

NPL yang rendah menunjukkan bank mampu mengelola kredit dengan baik, sementara NPL yang tinggi bisa menandakan risiko bisnis yang tinggi dan memerlukan perhatian serta strategi pengelolaan risiko kredit yang lebih ketat.

Rumus Non-Performing Loan (NPL)

Ada dua pendekatan untuk menghitung Non-Performing Loan (NPL), yaitu dengan formula NPL gross dan NPL net. Berikut adalah rumus masing-masingnya:

  • Rumus NPL Gross = [(Total Kredit Kurang Lancar + Kredit Diragukan + Kredit Macet) ÷ Total Kredit] x 100%
  • Rumus NPL Netto = (Total Kredit Macet ÷ Total Kredit) x 100%

Perbedaan antara NPL Gross dan NPL Net

Berikut adalah perbedaan antara NPL gross dan NPL net:

  • NPL Gross menunjukkan total kredit bermasalah sebelum cadangan kerugian dikurangi. Rasio ini membantu menilai eksposur keseluruhan kredit bermasalah bank.
  • NPL Net adalah rasio yang menunjukkan kredit bermasalah setelah dikurangi dengan cadangan kerugian kredit yang telah dibentuk. Rasio ini memberikan gambaran yang lebih realistis mengenai dampak finansial aktual dari kredit bermasalah.

Cara Interpretasi Non-Performing Loan (NPL)

Bagaimana cara interpretasi rasio NPL bank? Sebagai contoh kasus, kami akan mengambil data sampel NPL netto dari PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) tahun 2019, yaitu sebesar 1,2%. Artinya, dari total total kredit yang disalurkan oleh BNI, sebanyak 1,2% mengalami kredit macet. Sedangkan untuk NPL bruto BNI tahun 2019 yaitu sebesar 2,3%. Lalu, apakah rasio NPL BNI dapat dikatakan baik dan sehat? Berikut cara analisisnya.

Cara Analisis Non-Performing Loan (NPL)

Setelah diketahui bahwa rasio NPL netto bank BNI yaitu sebesar 1,2% dan rasio NPL bruto 2,3%. Jika dianalisis secara sederhana, maka telah memenuhi persyaratan batas NPL bank yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI). Dengan demikian, risiko bisnis BNI dianggap kecil karena rasio NPL yang kurang dari 5%. Namun, Anda juga bisa menganalisis dengan menggunakan dua pendekatan lainnya, seperti (1) analisis tren dan (2) analisis perbandingan industri.

Singkatnya, analisis tren (trend analysis) yaitu mengevaluasi kinerja keuangan (dalam hal ini NPL) selama periode tertentu, misalnya lima (5) tahun terakhir. Berdasarkan data di dalam laporan tahunan (annual report) BNI, berikut data NPL bruto dan NPL netto BNI selama lima tahun terakhir.

  • Tahun 2019: Rasio NPL bruto 2,3% dan NPL netto 1,2%.
  • Tahun 2018: Rasio NPL bruto 1,9% dan NPL netto 0,8%.
  • Tahun 2017: Rasio NPL bruto 2,3% dan NPL netto 0,7%.
  • Tahun 2016: Rasio NPL bruto 3,0% dan NPL netto 0,4%.
  • Tahun 2015: Rasio NPL bruto 2,7% dan NPL netto 0,9%.

Berdasarkan data NPL bruto dan NPL netto PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) periode 2015 – 2019, maka dapat disimpulkan bahwa BNK mampu menjaga rasio NPL di bawah 5%, bahkan untuk NPL netto, BNI mampu menjaga level di bawah 1% selama empat tahun berturut-turut. Artinya, BNI mampu menjaga risiko kredit macet dengan baik.

Metode analisis selanjutnya yaitu analisis perbandingan industri (industry comparison). Analisis ini dilakukan dengan membandingkan rasio NPL suatu bank dengan NPL rata-rata industri. Sebagai contoh, rasio NPL net BNI tahun 2019 yaitu 2,3%. Untuk melihat kinerja NPL selama 2019, Anda cari berapa nilai rata-rata rasio NPL industri perbankan. Jika rasio NPL BNI berada di bawah rata-rata industri, itu mengindikasikan bahwa performa rasio NPL BNI dapat dikatakan baik (positif).

Faktor yang Menyebabkan NPL Bank Tinggi dan Dampaknya

Beberapa faktor penyebab NPL tinggi antara lain:

  1. Ketidakseimbangan Ekonomi Makro: Kondisi ekonomi yang lemah seperti krisis atau penurunan daya beli masyarakat dapat meningkatkan risiko gagal bayar.
  2. Pengelolaan Risiko yang Kurang Optimal: Ketidaktepatan dalam analisis kredit dan pemantauan dapat meningkatkan angka kredit bermasalah.
  3. Kondisi Sektor Industri Tertentu: Sektor yang berisiko tinggi seperti konstruksi dan properti sering kali menyumbang kredit bermasalah yang tinggi.

Dampak dari tingginya rasio NPL adalah menurunnya pendapatan bank, khususnya yang diperoleh dari bunga kredit. Hal ini pada akhirnya dapat mempengaruhi profitabilitas bank dan bahkan merusak reputasi bank di mata investor.

Fungsi dan Penggunaan NPL

Dalam analisis kesehatan bank, fungsi NPL adalah untuk menunjukkan tingkat kesehatan kredit yang disalurkan oleh bank. Bank dengan NPL di bawah batas OJK dianggap memiliki kinerja kredit yang baik, sedangkan bank dengan NPL di atas batas ini berpotensi menanggung risiko lebih besar. Dengan adanya rasio NPL, itu bisa dijadikan alat kontrol atau bahan evaluasi bank bank untuk tetap menjaga kegiatan bisnis.

Dalam situasi ekonomi yang penuh tantangan, NPL sering kali menjadi tolak ukur dalam menentukan langkah-langkah mitigasi, seperti restrukturisasi kredit bagi debitur yang terdampak pandemi atau penurunan ekonomi.

Contoh kasus terbaru seperti pada virus Corona (Covid-19) yang melanda dunia. Dampak dari Covid-19 tersebut yaitu melumpuhkan aktivitas perekonomian sehingga nasabah (debitur) juga kesulitan dalam membayar kewajiban atau liabilitas. Kondisi seperti ini meningkatkan risiko NPL bank. Salah satu kebijakan atau solusi yang dapat diambil yaitu dengan melakukan restrukturisasi kredit.

Metode Menurunkan Rasio NPL Bank

Menjaga rasio NPL di bawah batas OJK adalah langkah penting bagi stabilitas bank. Berikut adalah beberapa strategi dan cara menurunkan NPL bank:

  1. Restrukturisasi Kredit: Meringankan syarat pembayaran atau memberikan kelonggaran kepada debitur yang kesulitan membayar.
  2. Analisis Kredit yang Ketat: Memastikan analisis kredit yang menyeluruh sebelum pemberian kredit untuk mengurangi potensi kredit bermasalah.
  3. Penagihan yang Aktif: Memberikan peringatan dini kepada debitur yang memiliki tunggakan, sehingga risiko kredit macet dapat diminimalisir.

Kesimpulan

Non-Performing Loan atau NPL adalah alat penting untuk menganalisis risiko kredit bank. Melalui Rumus NPL menurut OJK, kita bisa menilai kualitas kredit yang disalurkan oleh bank dan memastikan bahwa rasio ini tetap berada dalam batas aman. NPL bank Indonesia yang sehat secara umum akan berada di bawah 5%, sesuai dengan batas NPL menurut OJK. Melalui evaluasi NPL gross dan NPL net, serta analisis terhadap tren industri, bank dapat mempertahankan stabilitas bisnisnya dan mengurangi risiko kredit macet yang dapat mengganggu profitabilitas dan operasional.

Scroll to Top